Beberapa Hal Penting Tentang Masalah Zakat
BOLEHKAH MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI DENGAN UANG ?
Oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Hafizhahullah
Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Hafizhahullah ditanya :
Apakah hukum menyerahkan uang senilai zakat fithri untuk dibelikan
makanan dan diberikan kepada faqir miskin di negeri lain .?
Jawaban
Alhamdulillah wahdahu Ashalaatu was salama ‘ala Rasulillah Nabiyina
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam wa ‘ala alihi washahbihi wa
ba’du.
Allah berfirman :
“Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” [Al-Hasyr : 7]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang mengada-adakan perkara dalam urusan
agama kami ini apa yang tidak ada dasar syari’atnya maka perbuatan
tersebut tertolak” [Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim]
Sesunguhnya ada sebagian orang pada zaman ini yang berusaha untuk
merubah ibadah-ibadah dari ketentuan-ketentuan syar’i dan contohnya
banyak. Misalnya zakat fithri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah memerintahkan supaya zakat itu dikeluarkan dengan makanan di
negeri si pembayar zakat pada akhir bulan Ramadhan dan diberikan kepada
orang-orang miskin negeri itu. Dan sungguh telah ditemukan, ada orang
yang berfatwa tentang bolehnya mengeluarkan uang sebagai ganti dari
makanan, ada yang berfatwa tentang bolehnya menyerahkan uang untuk
dibelikan makanan di negara lain yang jauh dari negeri orang yang
berpuasa itu dan dibagikan disana. Ini adalah merubah ibadah dari
ketentuan syar’i. Zakat fitrah itu punya (ketentuan) waktu
pengeluarannya yaitu pada malam Idul Fitri atau dua hari sebelumnya
menurut para ulama dan juga zakat fitrah itu punya (kententuan) tempat
pembagiannya yaitu di negeri yang memenuhi satu bulan, tempat tinggalnya
muslim tersebut dan zakat juga punya orang-orang yang berhak
menerimanya yaitu orang-orang miskin di negeri si pembayar zakat dan
zakat itu punya (ketentuan) jenis yaitu makanan. Maka kita harus terikat
dengan ketentuan-ketentuan syar’i ini, jika tidak maka zakat itu
menjadi ibadah yang tidak sah dan tidak bisa membebaskan diri dari
kewajiban.
Imam yang empat telah sepakat atas wajibnya membagikan zakat fithri
di negeri orang yang berpuasa selama ada orang yang berhak menerimanya
disana dan mengenai hal itu telah dikeluarkan ketetapan oleh Ha’aitu
Kibaril Ulama (Lembaga Ulama Besar) di Saudi Arabia. Maka wajiblah
mengikutinya dan tidak usah memperdulikan orang-orang yang mengajak
untuk menyelisihinya, karena seorang muslim harus memiliki semangat kuat
untuk memenuhi kewajibannya agar tanggungannya terbebas, dan
berhati-hati dalam agamanya. Seperti inilah dalam semua ibadah hendaklah
dilaksanakan sesuai ketentuan, baik jenis, waktu ataupun pembagiannya,
janganlah merubah satu jenis ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah
kepada jenis lain.
Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Hafizhahullah ditanya :
Akhir-akhir ini banyak terjadi perdebatan diantara beberapa ulama negara
lain seputar zakat fithri yang disyari’atkan, serta kemungkinan
dikeluarkannya uang senilai zakat fithri. Bagaimana pendapat Syaikh .?
Jawaban
Yang diperintahkan dalam zakat fithri adalah menunaikannya dengan
cara yang telah diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yaitu dengan mengeluarkan satu sha’ makanan pokok penduduk negeri
tersebut dan diberikan kepada orang-orang faqir pada waktunya. Adapun
mengeluarkan uang senilai zakat fitrah, maka hal itu tidak sah karena
menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menyelisihi apa yang pernah dilakukan oleh para sahabat, mereka tidak
pernah mengeluarkan uang padahal mereka lebih tahu tentang sesuatu yang
boleh dan sesuatu yang tidak boleh.
Ulama yang mengatakannya bolehnya mengeluarkan uang, mereka katakan
hal itu berdasarkan ijtihad, Tetapi apabila ijtihad menyelisihi nash
maka ijtihad itu tidak dianggap.
Pernah ada yang mengatakan kepada Imam Ahmad Rahimahullah : “Ada yang
mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz mengambil uang dalam zakat
fitrah”. Maka Imam Ahmad berkomentar : “Mereka meninggalkan hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil mengatakan “kata si
Fulan”. Padahal Ibnu Umar berkata :
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sha’ kurma atau satu sha’ gandhum”
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah ditanya :
Hukum mengeluarkan zakat fithri dalam bentuk uang karena orang yang
memperbolehkan hal tersebut.
Jawaban
Tidaklah asing bagi seorang muslim manapun bahwa rukun Islam yang
paling penting adalah persaksian (Syahadat) bahwa tidak ada sesembahan
yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah utusan Allah.
Konsekwensi syahadat La Ilaha Ilallah adalah tidak menyembah kecuali
hanya kepada Allah saja, sedangkan konsekwensi syahadat Muhammad
Rasulullah adalah tidak menyembah Allah kecuali dengan cara-cara yang
telah disyari’atkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Zakat
fithri adalah ibadah menurut ijma kaum muslimin, dan semua ibadah pada
dasarnya tauqifi (mengikuti dalil atau petunjuk). Maka tidak boleh lagi
seorang hamba untuk beribadah kepada Allah dengan satu ibadahpun kecuali
dengan cara yang diambil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasul
yang telah Allah firmankan tentangnya.
“Artinya : Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya) “ [An-Najm : 3-4]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa membuat cara yang baru dalam perkara agama ini apa yang tidak termasuk agama ini maka hal itu tertolak”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensyari’atkan zakat
fithri dengan hadits yang shahih : Satu sha’ makanan atau anggur kering
atau keju. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abdullah
bin Umar Radhiallahu ‘anhu, dia berkata :
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mewajibkan zakat fithri dengan satu sha’ kurma, atau gandum atas setiap
orang muslimin yang merdeka ataupun budak baik laki mupun perempuan
kecil ataupun besar”
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa sallam memerintahkan supaya
zakat itu dilaksanakan sebelum orang keluar untuk melakasanakan shalat
Idul Fitri.
Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri Radhiallahu ‘anhu, dia berkata.
“Artinya : Kami memberikan zakat fitrah itu pada zaman Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan satu sha makanan, atau satu sha’
kurma atau gandum atau anggur kering” dalam satu riwayat “satu sha’
keju”
Inilah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam zakat
fithri. Dan sudah diketahui bersama bahwa pensyari’atan dan pengeluaran
zakat ini ditetapkan, di tengah kaum muslimin terutama penduduk Madinah
sudah ada Dinar dan Dirham, dua mata uang yang utama kala itu namun
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan keduanya
dalam zakat fithri. Kalau seandainya salah satu dari keduanya boleh
dipakai dalam zakat fithri tentu hal itu sudah dijelaskan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena tidak boleh menunda-nunda
keterangan pada saat dibutuhkan. Dan kalaulah hal itu pernah dikerjakan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu telah dikerjakan oleh
para sahabat Radhiallahu ‘anhum. Kami belum pernah mengetahui ada
seorang sahabat Nabi-pun yang menyerahkan uang dalam zakat fithri
padahal mereka adalah orang-orang yang paling paham terhadap sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka orang-orang yang paling keras
keinginannya dalam melaksanakan sunnah tersebut. Dan jika mereka pernah
melakukannya, tentu hal itu sudah di nukil periwayatannya sebagaimana
perkataan serta perbuatan mereka lainnya yang berkaitan dengan
perkara-perkara syar’i juga telah dinukil periwayatannya. Allah
berfirman.
“Artinya : Sungguh terdapat contoh yang baik buat kalian pada diri Rasulullah” [Al-Ahzab : 21]
Dan firman-Nya.
“Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [At-Taubah : 100]
Dari penjelasan kami ini akan menjadi jelas bagi pencari kebenaran,
bahwa menyerahkan uang dalam zakat fithri tidak boleh dan tidak sah bagi
si pengeluar zakat karena hal tersebut menyelisihi dalil-dalil syar’i
yang telah disebutkan.
Saya memohon kepada Allah agar Dia memberikan taufiq kepada kami dan
semua kaum muslimin untuk faham terhadap agama dan istiqamah berada di
atasnya serta menjauhi semua yang menyelisihi syariat-Nya, sesungguhnya
Allah Maha Dermawan dan Mulia.
Washallahu ‘ Ala Nabiyina Muhammadin wa’ala alihi wa shahbihi.
BOLEHKAH MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI DENGAN UANG ?
Oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Rahman bin Jibrin Hafizhahullah
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdul Rahman bin Jibrin Hafizhahullah ditanya
: “Bolehkah menyerahkan uang dalam zakat fithri, karena terkadang uang
tersebut lebih bermanfaat bagi orang-orang yang miskin?”
Jawaban
Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwasanya boleh mengeluarkan uang. Dan
yang benar adalah tidak boleh, yang dikeluarkan harus makanan. Uang
pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada, namun belum ada
yang meriwayatkan bahwa beliau menyuruh para sahabat untuk
mengerluarkan uang
[Demikian beberapa nukilan fatwa Ulama yang kami ketengahkan dengan
terjemahan bebas. fatwa-fatwa ini kami nukilkan dari Fatawa Ramadhan
halaman 918 - 927]
Catatan : Satu Sha’ sama dengan kira-kira 2.5 kg
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun V/1422H/2001M halaman. Bonus Fatwa Ramadhan]
ZAKAT FITHRI BERUPA UANG
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah zakat fithri ditunaikan pada awal-awal Ramadhan dan berupa uang .?
Jawaban.
Mengeluarkan zakat fithri pada awal-awal Ramadhan masih
diperselisihkan ulama. Tetapi menurut pendapat terkuat tidak boleh,
sebab zakat fithri hanya bisa disebut sebagai zakat fithri bila
dilakukan di akhir Ramadhan mengingat fithri (berbuka puasa) berada di
ujung bulan. Rasul-pun memerintahkan agar zakat fithri ditunaikan
sebelum orang pergi shalat Ied. Disamping itu, ternyata para shahabat
melakukannya sehari atau dua hari sebelum hari raya. Begitu pula,
mengeluarkan zakat fithri berupa uang masih diperselisihkan ulama.
Tetapi menurutku, zakat fithri harus berupa makanan berdasarkan pernyataan Ibnu Umar berikut :
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menetapkan
zakat fithri sebesar satu sha’ tamar (kurma) atau satu sha’ sya’ir
(gandum)”.
Abu Sa’id al-Khudry berkata :
“Artinya : Kami keluarkan zakat fithri pada zaman Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, satu sha’ makanan. Ketika itu makanan
kami berupa kurma, gandum, buah zabi dan aqath (semacam mentega)”.
Dari kedua hadits diatas dapat dipetik keterangan bahwa zakat fithri
hanya dapat dipenuhi dengan makanan, sebab makanan akan lebih nampak
kelihatannya oleh seluruh anggota keluarga yang ada. Lain halnya jika
berupa uang yang bisa disembunyikan oleh sipenerimanya sehingga tak
terlihat syi’arnya bahkan akan berkurang nilainya.
Mengikuti cara yang ditetapkan agama (syara’) adalah yang terbaik dan
penuh berkah. Namun ada saja yang mengatakan bahwa zakat fithri berupa
makanan kurang bermanfa’at bagi si fakir. Tetapi perlu diingat bahwa
makanan apapun akan bermanfaat bagi yang benar-benar fakirnya.
ZAKAT FITHRI BERUPA UANG TUNAI
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah zakat fithri dengan uang dan apa alasan hukumnya .?
Jawaban.
Zakat fihtri hanya boleh berupa makanan saja, tidak boleh dengan
harganya (uang). Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menetapkan zakat fithri satu sha’ berupa makanan, buah kurma atau gandum
sebagaimana yang diterangkan dalam hadits Ibnu Umar dan hadits Sa’id
al-Khudry dalam bahasan sebelumnya.
Karena itu, seseorang tidak boleh mengeluarkan zakat fithri berupa
uang dirham, pakaian atau hamparan (tikar). Zakat fithri mesti
ditunaikan sesuai dengan apa yang diterangkan Allah melalui sabda
Rasul-Nya. Tidak bisa dijadikan dasar hukum adanya sikap sebagian orang
yang menganggap baik zakat fithri dengan uang, sebab syara’ tidak akan
pernah tunduk kepada otak manusia. Syara’ itu berasal dari Yang Maha
Bijaksana dan Maha Mengetahui, Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jika zakat fithri telah ditetapkan melalui sabda Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam, berupa satu sha’ makanan, maka kertentuan tersebut
mesti kita patuhi. Jika ada seseorang yang menganggap baik sesuatu yang
menyalahi syara’, hendaknya ia menganggap bahwa putusan otaknya itulah
yang jelek.
DIPAKSA MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI DENGAN UANG
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana
hukumnya orang dipaksa mengeluarkan zakat fithri harus dengan uang dan
apakah hal ini memenuhi kewajibannya .?
Jawaban.
Yang jelas menurut kami, hendaklah ia mengeluarkannya jangan sampai
terlihat menentang pengurus setempat. Namun di samping itu, untuk
menjaga keutuhan hubungan dengan Allah, hendaklah mengeluarkan fithri
sesuai dengan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa satu
sha’ makanan, sebab tuntunan pengurus setempat tidak sejalan dengan
perintah syara’.
BOLEHKAH ZAKAT FITHRI BERUPA DAGING
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sebagian orang
desa tidak punya makanan untuk zakat fithri, maka bolehkan mereka
menyembelih binatang lalu dibagikan dagingnya kepada para fakir .?
Jawaban.
Hal seperti itu tidak boleh dilakukan, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, telah menetapkan bahwa zakat fithri harus berupa satu sha’
makanan. Biasanya daging itu ditimbang, sedang makanan di takar.
Perhatikan hadits yang diterangkan oleh Ibnu Umar dan Said al-Khudry
sebelumnya.
Dengan demikian, pendapat terkuat menyatakan bahwa zakat fithri tidak
bisa dipenuhi dengan uang dirham, pakaian atau hamparan. Juga tidak
bisa dijadikan dasar hukum adanya pendapat yang menyatakan bahwa zakat
fithri bisa dipenuhi dengan uang. Sebab selama kita punya ketetapan
pasti dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sepeninggalnya,
seseorang tidak diperkenankan berpendapat lain menurut anggapan baik
akalnya dan membatalkan aturan syara’nya. Allah tidak akan menanyakan
kepada kita tentang pendapat si fulan dan si fulan pada hari kiamat,
tetapi kita akan ditanya tentang sabda Rasul-Nya :
“Artinya : Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka, seraya berkata : ‘Apakah jawabanmu kepada para rasul?”. [Al-Qashash : 65).
Coba bayangkan dirimu di hadapan Allah pada hari kiamat, di mana
Allah telah menetapkan melalui sabda Rasul-Nya agar kamu menunaikan
zakat fithri berupa makanan, maka mungkinkah kamu bisa menjawab ketika
ditanya : "Apa jawabanmu terhadap Rasulullah tentang zakat fithri ?
Mungkinkah kamu dapat mempertahankan dirimu dan berkata : "Demi Allah
inilah madzhab si fulan dan inilah pendapat si fulan ? Tentu kamu tak
akan berdaya dan tak bermanfaat jawaban seperti itu.
Yang pasti zakat fithri hanya dapat dipenuhi dengan berupa makanan yang berlaku di suatu negeri.
Jika kamu perhatikan pendapat ulama dalam masalah ini terbagi kedalam
tiga kelompok. Pertama berpendapat bahwa zakat fithri bisa dikeluarkan
berupa makanan dan berupa uang dirham. Kedua berpendapat bahwa zakat
fithri tidak bisa dikeluarkan berupa uang dan tidak pula berupa makanan
kecuali dalam lima macam ; padi, kurma, gandum, zabib dan buah aqah.
Kedua pendapat ini saling berlawanan. Ketiga pendapat yang menyatakan
bahwa zakat fithri bisa dikeluarkan dari segala makanan yang bisa
dimakan orang, baik berupa beras, kurma, pisang, cengkeh, jagung bahkan
daging bila memang sebagai makanan pokok. Dengan demikian, jelas apa
yang ditanyakan oleh penanya tentang penduduk suatu kampung yang
berzakat fithri dengan daging, tidaklah memenuhi syarat.
[Disalin dari Buku 257 Tanya Jawab Fatwa-Fatwa Al-Utsaimin, karya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 174-179. terbitan Gema
Risalah Press, alih bahasa Prof.Drs.KH.Masdar Helmy]
Zakat Kepada Ibu, Zakat Kepada Anak Perempuan Yang Fakir Dan Zakat Kepada Saudara Yang Dekat
Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Ibnu Baz ditanya : Bolehkah seseorang mengeluarkan zakat untuk diberikan kepada ibunya ?
Jawaban
Seorang muslim tidak boleh mengeluarkan zakat untuk diberikan kepada
kedua orang tuanya, juga tidak boleh mengeluarkan zakat untuk diberikan
kepada anak-anaknya, akan tetapi hendaknya seseorang memberi nafkah
kepada kedua orang tua dan kepada anak-anaknya dari hartanya jika mereka
membutuhkannya, demikian ini jika ia memang mampu memberi infaq kepada
mereka.
[Fatawa Al-Mar'ah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/44]
BERZAKAT KEPADA ANAK PEREMPUAN YANG FAKIR
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah
mengeluarkan zakat kepada anak perempuan yang sudah menikah dan dalam
keadaan membutuhkan ?
Jawaban
Setiap orang mempunyai ciri-ciri golongan yang berhak mendapatkan
zakat pada dasarnya boleh memberikan zakat kepadanya, berdasarkan ini,
jika seseorang tidak mampu memberi infak kepada anak perempuannya dan
kepada anak laki-lakinya, maka hendaknya zakat tersebut diberikan kepada
anak perempuannya, dan yang lebih baik dan lebih selamat adalah
memberikan zakat tersebut kepada suami anaknya itu.
[Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/397]
ZAKAT KEPADA SAUDARA DEKAT
Oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta ditanya : Jika ada wanita-wanita
yang telah bersuami yang mana mereka itu adalah kerabat seorang pria,
misalnya sebagai keponakannya, sementara suami-suami mereka adalah
orang-orang yang tidak kaya sehingga mereka kurang tercukupi
kebutuhannya, apakah boleh bagi pria itu untuk mengeluarkan zakat kepada
mereka ?
Jawaban
Tidak diragukan lagi bahwa orang-orang yang menerima zakat adalah
fakir miskin. Tentang boleh atau tidaknya memberikan zakat kepada mereka
sebagaimana yang ditanyakan yang dianggap sebagai termasuk fakir
miskin, harus dikaji terlebih dahulu tentang kefakiran mereka, jika
kefakiran itu berupa kebutuhan nafkah dan pakaian, sementara para suami
mereka tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka tidak ada
alasan untuk mencegah pemberian zakat kepada mereka, namun jika
kefakiran itu berupa kebutuhan nafkah perlengkapan, seperti emas atau
lainnya, maka tidak boleh memberikan zakat kepada mereka.
[Majalah Al-Buhut Al-Islamiyah, 3/174]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi
Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya
Al-Wazan, terbitan Darul Haq, hal 220-221, penejemah Amir Hamzah
Fakhruddin]
SEBAGIAN ULAMA MENGATAKAN TIDAK BOLEH ZAKAT FITHRI DENGAN BERAS ?
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sebagian ulama
mengatakan bahwa tidak boleh membayarkan zakat fithri berupa beras
selagi macam barang yang ditetapkan syari’at masih ada, bagaimana
pendapat anda .?
Jawaban.
Beberapa ulama mengatakan bahwa jika lima macam barang yakni gandum,
kurma, tepung syair, kismis, dan keju masih ada maka zakat fithri tidak
boleh diwujudkan dengan yang lainnya, pendapat ini bertentangan mutlak
dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya boleh saja
mengeluarkan zakat fithri berbentuk lima macam ini dan sejenisnya,
bahkan sampai berbentuk dirham sekalipun, sehingga kedua pendapat ini
saling bertentangan.
Yang benar adalah bahwa diperbolehkan mengeluarkannya dalam bentuk
makanan yang biasa dimakan manusia, itu karena Abu Sa’id Al-Khudriy
Radhiyallahu ‘anhu seperti yang dituliskan dalam shahih Bukhari, berkata
:
“Artinya : Kami mengeluarkan (zakat fithri) pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam satu sha’ dari makanan, makanan kami adalah kurma, tepung syair, kismis dan keju” [Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Zakat/bab Shadaqah Fithri Satu Sha Dari Makanan 1506]
Dia (Abu Said) tidak menyebutkan gandum juga, saya tidak
pernah tahu bahwa gandum disebutkan dalam zakat Fithri pada hadits yang
shahih secara jelas, akan tetapi tak ragu lagi bahwa gandum
boleh digunakan untuknya, selanjutnya hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu
‘anhu, dia berkata.
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan
kewajiban zakat fithri sebagai pembersih orang yang berpuasa dari
kesia-siaan dan perkataan kotor serta sebagai makanan untuk orang-orang miskin“ [Bagian dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu yang telah terdahulu-]
Sehingga yang benar adalah bahwa makanan yang biasa dimakan
manusia boleh digunakan dalam mengeluarkan zakat fithri, meski tidak
termasuk lima macam yang ditetapkan oleh para ahli fikih,
karena macam makanan ini seperti yang telah lewat dalilnya- empat
diantaranya merupakan makanan manusia pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, atas dasar ini menjadi bolehlah mengeluarkan zakat
fithri berupa beras. Justru saya berpendapat beras lebih utama daripada
yang lain pada masa kita sekarang ini ; karena paling sedikit
kesulitannya dan paling diharap oleh manusia.
Bersama kenyataan ini menjadi jelaslah bahwa perkara memang
berbeda-beda, sungguh ada disuatu lembah suatu kelompok yang kurma lebih
mereka sukai maka para manusia mengeluarkan zakat fithri berupa kurma,
di tempat yang lain kismis lebih mereka sukai sehingga manusia
mengeluarkan zakat fithri berbentuk kismis, demikian juga dengan keju
dan selainnya, yang paling utama untuk setiap kaum adalah yang
bermanfaat bagi mereka.
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu
Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah,
Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]
MENYALURKAN ZAKAT UNTUK KEPENTINGAN SITUS ISLAM
Oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Orang yang
memperhatikan situs Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang sejalan dengan manhaj
Salaf Shalih di jaringan informasi internasional (internet) kadang
mendapatkan bahwa situs-situs itu telah menyebarkan informasi ilmiah dan
dakwah seputar dunia Islam. Kami sendiri telah melihat dampak positif
dari situs-situs itu, yang mana dari hari ke hari terus bertambah non
Muslim yang memeluk Islam, di samping situs-situs itu pun berusaha
membantah berbagai isu meragukan yang berkembang seputar Islam. Lain
dari itu, situs-situs itu pun mempunyai peranan yang besar dalam
memperbaiki aqidah, ibadah dan hal-hal besar lainnya. Pertanyaan saya,
bagaimana hukum membayarkan zakat untuk menyokong anggaran situs-situs
tersebut ? Kami mohon jawabannya, semoga anda mendapat pahala.
Jawaban,
Menurut kami, boleh membayarkan zakat untuk menyokong anggaran
situs-situs tersebut, karena itu termasuk fi sabilillah yang merupakan
salah satu jalur alokasi zakat. Karena mengajak menusia ke jalan Allah,
membantah isu-isu meragukan yang ditebarkan oleh kaum musyrikin dan para
ahli bid’ah adalah merupakan faktor-faktor terkuat yang menyebabkan
manusia masuk Islam, yang mana hal ini merupakan tujuan besar dalam
rangka memerangi kaum kuffar. Karena maksud memerangi kaug kuffar itu
tidak sebatas membunuh jiwa dan menguasai harta serta negara, tapi juga
mengajak mereka ke jalan Allah dan memasukkan mereka ke dalam Islam.
Karena itulah dalam hadits Buraidah dari Muslim disebutkan.
Artinya : Jika engkau berjumpa dengan musuhmu dari golongan orang-orang musyrik, ajaklah mereka masuk Islam
Kemudian beliau mengatakan Artinya : Jika mereka menolak, maka
mintalah mereka membayar upeti; Selanjutnya beliau mengatakan :Artinya :
Jika mereka menolak juga, maka mohonlah pertolongan kepada Allah dan
perangilah mereka [Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-Jihad wa Sair 1731]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak memerangi kecuali setelah mendahuluinya dengan mengajak kepada Islam.
Tidak diragukan lagi, bahwa internet telah membuka dunia ilmu dan
da’wah dunia Islam, yang mana terbukti dengan banyaknya non Muslim yang
memeluk Islam, dan juga internet berfungsi pula untuk membantah isu-isu
meragukan seputar Islam, lain dari itu internet telah memerankan
fungsinya yang sangat besar dalam memperbaiki akidah dan ibadah. Maka
dengan demikian hal tersebut termasuk jalan Allah, sehingga boleh
dibayarkan zakat untuk kepentingannya. Kemudian dianjurkan kepada kaum
Muslimin untuk mendukung jaringan ini dengan memberikan sedekah dan
sumbangan yang mampu diberikan, sehingga melahirkan hasil dan dampak
yang nyata. Wallahu a’lam.
[Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, ada tandatangannya, tertanggal 24/7/1421H]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il
Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia
Fatwa-Fatwa Terkini-1, Darul Haq]
HUKUM MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI PADA SEPULUH HARI TERAKHIR BULAN RAMADHAN
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukumnya
mengeluarkan zakat fithri pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan
?
Jawaban.
Zakat fithri disandarkan pada fithri (makan) ; karena fithrilah yang
menjadi sebabnya, apabila berbuka dari Ramadhan merupakan sebab
penghapusan ini maka dia dikuatkan dengannya namun tidak didahulukan
daripadanya, karena waktu yang paling afdhal (paling utama) dalam
mengeluarkan zakat fithri adalah pada hari Idul Fithri sebelum melakukan
shalat Ied. Akan tetapi boleh dilakukan sebelum Ied satu atau dua hari,
untuk melonggarkan orang yang memberi maupun yang menerima, adapun
sebelum itu maka pendapat yang kuat dari para ulama menegaskan bahwa
tidak diperbolehkan, dengan dasar ini zakat fithri memiliki dua waktu ;
waktu yang diperbolehkan yakni sebelum Ied satu atau dua hari dan waktu
utama yakni pada hari Ied sebelum shalat, penundaannya sampai sesudah
shalat adalah haram hukumnya dan tidak bisa mencukupi kewajiban zakat
fithri, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
Radhiyallahu ‘anhuma.
“Artinya : Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat Ied maka
itulah zakat yang diakabulkan, sedangkan barangsiapa yang menunaikannya
sesudah shalat maka itu dihitung sebagai sedekah dari berbagai macam
sedekah” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud : Kitab Zakat/Bab Zakat Fithri
1609, Ibnu Majah : Kitab Zakat/Bab Shadaqah Fithri 1827]
Kecuali apabila ada seorang lelaki yang tidak mengetahui kapan hari
Iedul Fithri, misalnya dia berada di padang tak bertuan, dia tidak
mengetahui kecuali saat waktu sudah terlambat, dan yang serupa dengan
itu, maka tidak mengapa dia menunaikannya sesudah shalat Ied dan sudah
mencukupi dari kewajiban zakat fithri.
MENAMBAH ZAKAT FITHRI DENGAN NIAT SEDEKAH
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkan menambah zakat fithri dengan niat sedekah ?
Jawaban.
Ya, diperbolehkan bagi seseorang untuk menambah zakat fithri dan
berniat sedekah pada tambahannya itu. Dari dalil ini, apa yang dilakukan
oleh sebagian orang sekarang ini yang berkewajiban sepuluh takar zakat
fithri misalnya, dia membeli satu karung berisi beras yang isinya lebih
dari sepuluh takar zakat fithri, dia keluarkan bersama-sama baik dari
dirinya maupun dari penghuni rumahnya, perbuatan ini boleh apabila
diyakini bahwa isi karung itu setara dengan kewajiban zakatnya atau
justru lebih banyak ; karena takaran zakat fithri bukanlah suatu
keharusan mutlak kecuali sekedar untuk diketahui standar ukurannya,
apabila kita telah mengetahui ukuran yang terdapat di dalam karung ini
lalu kita berikan kepada orang fakir maka tidak mengapa.
MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI OLEH KELUARGANYA
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seseorang yang
berada di Makkah sedangkan keluarganya berada di Riyadh, bolehkah dia
mengeluarkan zakat fithri dari keluarganya di Makkah ?
Jawaban.
Boleh saja seseorang menyerahkan zakat fithri dari keluarganya
apabila mereka tidak tinggal bersamanya di satu daerah, apabila dia
bertempat tinggal di Makkah sedangkan mereka di Riyadh dia boleh
menyerahkan zakat fithri mereka di Makkah. Namun yang paling utama
adalah seseorang menunaikan zakat di daerah yang dia tinggali saat
penyerahan zakat fithri itu. Bila saat itu di tinggal di Makkah
sebaiknya menyerahkannya di Makkah, jika dia berada di Riyadh seyogyanya
juga menyerahkan zakat di Riyadh. Sedangkan apabila sebagian keluarga
bertempat tinggal di Makkah dan sebagian yang lain tinggal di Riyadh
maka mereka yang berada di Riyadh menyerahkannya di Riyadh dan mereka
yang berada di Makkah menyerahkan zakat fithrinya di Makkah ; sebab
zakat fithri itu mengikuti badan manusia.
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu
Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah,
Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]
MEMBERIKAN ZAKAT HARTA ATAU FITHRI KEPADA KERABAT YANG FAKIR
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sahkah
memberikan zakat harta atau zakat fithri kepada saudara-saudaraku yang
fakir yang pendidikannya ditanggung ibu setelah ditinggal wafat ayah
kami, rahimahullah, dan sah pulakah memberikannya kepada saudara kami
yang tidak fakir namun kami rasa merekapun membutuhkannya karena banyak
orang lain yang memberinya .?
Jawaban.
Memberikan zakat kepada keluarga adalah lebih utama ketimbang kepada
yang lain, sebab berzakat kepada keluarga punya dua nilai, nilai sedekah
dan nilai shilaturahmi kecuali jika keluarga tersebut telah menjadi
tanggungan biaya hidup yang berzakat itu sendiri, maka tidak boleh
diberi zakat. Namun jika saudara-saudara yang disebutkan itu dipastikan
dan harta kamu tak akan cukup membiayainya, maka tak menjadi halangan
untuk diberi zakat. Begitu pula, jika mereka punya hutang kepada pihak
lain, maka kamu boleh membayarnya dari harta zakat, sebab hutang kerabat
itu tak mesti harus dipenuhi oleh kerabatnya pula. Membayar hutang
pihak lain dari hasil zakat merupakan hal yang dibolehkan. Bahkan jika
anakmu atau ayahmu punya hutang dan tak mampu dibayar, maka kamu boleh
membayarnya dengan hasil zakat dengan syarat bila tidak dapat dipenuhi
dengan nafkah wajib.
MENYALURKAN HASIL ZAKAT EMAS KEPADA PEJUANG AFGHANISTAN
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah menyalurkan hasil zakat emas kepada para pejuang Afghanistan ..?
Jawaban.
Memang hal itu dibolehkan, baik berupa zakat emas, uang dirham,
perdagangan atau zakat lainnya, sebab para pejuang Afganistan termasuk
para pejuang di jalan Allah. Jihad di jalan Allah merupakan salah satu
pos yang berhak mendapatkan penyaluran zakat sebagaimana firman-Nya.
“Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
mu’allaf yang dibujuk hatinya, utuk memerdekakan budak sahaya,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang
sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah ;
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. [At-Taubah : 60]
MEMBERIKAN ZAKAT KEPADA SAUDARA PEROKOK YANG TIDAK MENDAPATKAN KEBUTUHAN HIDUPNYA.
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Jika seorang
saudara tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya namun ia sendiri termasuk
perokok berat sehingga setengah kebutuhan hidupnya habis oleh biaya
rokok, bolehkah ia diberi hasil zakat harta dan dibayarkan hutangnya..?
Jawaban.
Tak diragukan bahwa merokok itu haram. Orang yang membiasakan
merokok, berarti ia senantiasa berbuat maksiat. Terbiasa dengan
dosa-dosa kecil maka lambat laun akan terjerumus berbuat dosa besar.
Karena itu, kami sarankan kepada saudara-saudaraku yang suka merokok
hendaklah taubat kepada Allah dengan cara menjauhinya agar badan sehat
dan harta hemat, sebab jelas sekali merokok itu dapat merusak kesehatan
dan memboroskan harta.
Selanjutnya menurut kami jika seseorang suka merokok dan ternyata
fakir, maka sebaiknya harta zakat diberikan langsung kepada istrinya
agar dibelikan kepada kebutuhan hidupnya. Atau bisa saja diberikan
kepada perokok tadi dengan syarat ditanya dulu apakah harta zakat itu
akan dibelikan kepada kebutuhan pokok atau tidak .? Ketika diberi zakat,
kami menuntut pula agar ia didampingi oleh seorang wakil agar membeli
hal-hal yang pokok terpenuhi dan terhindar dari hal-hal yang dilarang.
Sebab barang siapa yang memberi uang kepada seseorang lalu dibelikannya
untuk rokok, berarti ia telah membantu berbuat dosa dan termasuk ke
dalam larangan Allah berikut :
“Artinya : Dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran ,….. “ [Al-Maidah : 2]
Begitu juga, orang tersebut boleh dilunasi hutangnya dari hasil zakat.
[Disalin dari buku 257 Tanya Jawab Fatwa-Fatwa Al-Utsaimin, karya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 172-174, terbitan Gema
Risalah Press, alih bahasa Prof.Drs.KH.Masdar Helmy]
LUPA MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI SEBELUM IED
Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Saya telah menyiapkan zakat
fithri sebelum hari raya untuk saya berikan kepada seorang fakir yang
saya kenal, tetapi saya lupa mengeluarkannya. Saya tidak ingat kecuali
pada saat shalat Ied, dan saya mengeluarkannya sesudah shalat. Apakah
hukumnya ?
Jawaban
Tidak diragukan bahwa sunnahnya ialah mengeluarkan zakat fithri
sebelum shalat Ied, sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Tetapi tidak berdosa atasmu mengenai apa yang telah
Anda perbuat, sebab mengeluarkannya sesudah shalat itu berpahala,
Alhamdulillah. Meskipun terdapat dalam hadits bahwa itu termasuk
sedekah, tetapi itu tidak menjadi penghalang untuk mendapatkan pahala.
Kami berharap semoga hal itu diterima (di sisi Allah) dan menjadi zakat
secara sempurna karena Anda tidak menunda dengan sengaja dan Anda
terlambat hanya karena lupa. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam
kitabNya yang agung.
“Artinya : Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah” [Al-Baqarah : 286]
Telah diriwayatkan degnan shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.
“Artinya : Allah Azza wa Jalla telah berfirman : Sungguh engkau telah melakukannya”
Dan Dia megabulkan doa hamba-hambaNya yang beriman untuk tidak menghukum akibat kealpaan.
HUKUM MENUNDA ZAKAT MAL DAN FITHRI
Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Apakah boleh seseorang
menyimpan zakat mal atau zakat fithri untuk diberikan kepada seorang
fakir yang belum pernah ditemunya ?
Jawaban
Jika waktu tersebut pendek tidak lama, maka tidak mengapa menyimpan
zakat tersebut hingga dapat diberikan kepada sebagian orang fakir dari
kaum kerabatnya atau orang yang sangat fakir dan membutuhkan. Tetapi
jangka waktu tersebut tidak lama, hanya beberapa hari saja. Ini dalam
hubungannya dengan zakat mal. Adapun zakat fithri tidak boleh ditunda,
tetapi wajib diberikan sebelum shalat Ied, sebagaimana perintah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Zakat fithri dikeluarkansehari, dua hari,
atau tiga hari sebelum hari raya tidak mengapa, dan tidak boleh ditunda
sesudah shalat Ied.
DISUNNAHKAN MEMBAGI ZAKAT FITHRI KEPADA KAUM FAKIR NEGERINYA
Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Berhubung dengan zakat fithri
; apakah zakat tersebut dibagikan kaum fakir negeri kami ataukah kepada
selain mereka ? Jika kami bermusafir tiga hari sebelu Ied, maka apa
yang kami lakukan mengenai zakat fitrah tersebut ?
Jawaban.
Yang disunnahkan adalah membagi-bagikan zakat fithri kepada kaum
fakir negerinya pada pagi hari raya sebelum shalat, dan boleh
membagi-bagikan sehari atau dua hari sebelumnya, mulai hari ke 28.
Apabila orang yang berkewajiban zakat fithri tersebut melakukan
perjalanan dua hari atau lebih sebelum hari raya, maka ia mengeluarkan
zakat di negeri Islam yang dituju. Jika bukan negeri Islam, maka carilah
sebagian muslim yang fakir dan serahkan kepada mereka. Jika
perjalanannya sesudah kebolehan mengeluarkan zakat fthri (zakatnya
diberikan kepada penduduk negerinya), maka tujuannya, antara lain ;
berbuat kebajikan kepada mereka dan menghalang-halngi mereka dari
perbuatan mengemis kepada orang lain pada hari-hari Idul Fithri.
[Disalin dari buku Fatawa Al-Zakah, edisi Indonesia Fatwa Seputar Zakat, Penyusun Muhammad Al-Musnid, terbitan Darul Haq]
BAGAIMANA CARA ORANG YANG BERDOMISILI DI LUAR NEGERI MENGELUARKAN ZAKATNYA
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang lelaki
berdomisili di luar negeri. Bagaimana ia cara mengeluarkan zakatnya ?
Apakah ia mengirim zakatnya tersebut ke negeri asalnya ? Ataukah cukup
membagikannya di negeri ia berdomisili ? Atau bolehkah sebagai wakilnya
ia menugasi keluarganya untuk membagi-bagikan zakatnya ?
Jawaban
Hendaknya ia melihat cara manakah yang paling bermanfaat bagi para
penerima zakat. Apakah lebih bermanfaat ia bagikan zakatnya itu di
negeri asalnya, atau yang lebih bermanfaat ia kirimkan kepada kaum fakir
di negeri lain ? Jika keduanya sama bermanfaat, maka sebaiknya ia
membagikan di negeri tempat ia berdomisili.
[Syaikh Ibnu Utsaimin, Fatawa Az-Zakah, disusun oleh Muhammad Al-Musnad, hal.69]
HUKUM MENGALOKASIKAN ZAKAT KE DAERAH LAIN.
Oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apakah boleh
mengirim zakat kepada orang-orang yang berhak di negeri lain, yaitu
negeri saya sendiri, karena saya sekarang berdomisili sementara di Saudi
Arabia ? Semoga Allah senantiasa memberi berkah kepada Anda.
Jawaban
Boleh hukumnya mengirimkan zakat harta ke negeri lain berdasarkan
pendapat yang benar, untuk sebuah maslahat yang jelas seperti kemiskinan
yang sangat memperihatinkan, kaum muslimin di negeri-negeri tersebut
sangat membutuhkannya dan lain-lain. Dan tidak boleh hukumnya jika
dilakukan dengan tujuan mengistimewakan negeri tertentu padahal di dalam
negeri masih banyak yang berhak menerimnya.
Cara mengetahui siapakah yang berhak dan yang tidak berhak adalah
sebagai berikut : Jika penduduk suatu negeri masih diragukan apakah
berhak menerima zakat ataukah tidak, sementara kerabat dia di negeri
lain yang jauh sudah jelas sangat membutuhkan dan sangat menantikan
uluran tangan dan perhatian, maka mereka tentunya lebih berhak.
Menyalurkan zakat harta kepada mereka merupakan satu bentuk menyambung
tali silaturahim
[Syaikh Ibnu Jibrin, Fatawa Az-Zakah, disusun oleh Muhammad Al-Musnad, hal.53]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masaa'il
Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia
Fatwa-Fatwa Terkini-1, Darul Haq]
APAKAH SYARAT WAJIBNYA ZAKAT?
Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah syarat wajibnya zakat ?
Jawaban
Syarat wajibnya zakat adalah : Islam, merdeka, memiliki
(mencapai)nishab dan tetatpnya harta, serta telah lewat satu tahun
kecuali pada zakat Mu’syirat (buah atau bijian).
Adapun Islam : Karena seorang kafir tidak diwajibkan membayar zakat,
tidak diterima darinya kalau dia mengeluarkan hartanya dengan nama
zakat, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima
dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah
dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan
malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa
enggan” [At-Taubah : 54]
Akan tetapi pernyataan kami bahwa zakat tidak diwajibkan atas orang
kafir dan tidak sah (diterima zakat) darinya tidak berarti bahwa dia
akan dimaafkan dari dosa itu di akhirat, bahkan dia akan disiksa
karenanya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Tia-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah
dia perbuat, kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka
saling bertanya, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, “Apakah
yang memasukkan kalian ke dalam Saqar (neraka)?”, Mereka menjawab, “Kami
dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami
tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan
yang batil bersama orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami
mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian” [Al-Muddatstsir : 38-47]
Ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir disiksa disebabkan
pelanggaran mereka terhadap cabang-cabang ajaran Islam, sedangkan dia
seperti itu pula.
Sedangkan Merdeka : Sebab seorang budak tidak memiliki harta, karena
harta si budak adalah milik tuannya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Barangsiapa yang menjual budak yang memiliki harta
maka hartanya itu menjadi milik penjualnya, kecuali bila si pembeli
mempersyaratkannya” [1]
Sehingga dia –kalau begitu- bukanlah si pemilik harta yang
menjadikannya terbebani kewajiban zakat, apabila ditakdirkan bahwa
seorang hamba sahaya mempunyai kepemilikan harta maka sungguh hartanya
itu pada akhirnya akan kembali kepada majikannya, karena sang majikan
berhak mengambil apa yang ada di tangannya, dengan dalil ini maka di
dalam kepemilikannya terdapat kekurangan, tidak tetap sebagaimana
tetapnya harta orang merdeka.
Adapun memiliki (mencapai) Nishab : Maknanya adalah bahwa terdapat
pada seseorang harta yang mencapai nishab sesuai dengan yang ditentukan
oleh syari’at, yang berbeda-beda sesuai perbedaan jenis harta, apabila
tidak didapati pada seseorang harta yang mencapai nishab maka tidak ada
kewajiban zakat atasnya, karena hartanya dianggap sedikit tidak cukup
untuk menolong lainnya.
Nishab untuk binatang ternak didasarkan atas ukuran permulaan dan
akhir (batas bawah dan batas atas) sedangkan untuk selainnnya didasarkan
atas ukuran awal (batas bawah) sedangkan tambahannya dihitung berdasar
kelipatannya.
Sedangkan lewatnya waktu setahun (Haul) : Adalah karena wajibnya
zakat pada harta yang kurang dari setahun berakibat buruk pada
orang-orang kaya, sedangkan pewajiban zakat pada saat lebih dari setahun
mengakibatkan keburukan pada hak-hak orang yang berhak mendapat zakat
(ahli zakat). Dalam kaitan itu dengan haul (waktu setahun) akan
menyeimbangkan antara hak orang kaya dan hak ahli zakat.
Berdasrkan itu, seandainya seorang manusia mati misalnya, atau
hartanya bangkrut sebelum genap setahun (haul), gugurlah kewajiban
zakat, kecuali bila termasuk hal yang dikecualikan dari genapnya haul,
yakni tiga macam ; laba perniagaan, hasil binatang ternak, dan
mu’syirat.
Laba perniagaan haulnya adalah haul pokoknya, sedangkan hasil
binatang ternak haul hasilnya adalah haul induknya, adapun mu’syirat
haulnya adalah saat memanennya, mu’syirat adalah biji-bijian dan
buah-buahan.
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu
Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah,
Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]
__________
Foote Note
[1]. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Al-Masaqat/Bab
Seorang lelaki yang memilki tempat lewat atau tempat minum di tembok
pekarangannya atau kebun kurma (2379). Muslim : Kitab Al-Buyu/Bab Orang
yang menjual pohon-pohon korma yang berbuah (1543) (80)
APAKAH SEMUA ORANG YANG MENGULURKAN TANGAN MEMINTA ZAKAT BERHAK MENERIMA ZAKAT
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apkah semua
orang yang mengulurkan tangannya meminta zakat berhak menerima zakat ?
Jawaban.
Tidak semua orang yang mengulurkan tangannya meminta zakat berhak
menerimanya, karena di antara manusia ada orang yang mengulurkan
tangannya minta uang, padahal dia orang kaya, orang semacam ini nanti
akan datang pada hari kiamat dengan wajah yang tak berdaging sepotong
pun – kita berlindung kepada Allah dari itu- dia datang pada hari
kiamat, hari saat berdirinya para saksi, sedangkan wajahnya terhapus
–kita berlindung kepada Allah darinya- Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang minta kepada manusia akan harta
mereka untuk memperbanyak hartanya maka sebenarnya dia hanyalah meminta
bara api, tinggal dia menyedikitkannya atau memperbanyaknya” [1]
Dengan dalil ini saya peringatkan mereka orang-orang yang suka
meminta-minta kepada orang lain dengan merengek-rengek padahal mereka
berada di dalam gelimang kekayaan. Bahkan saya peringatkan semua orang
yang menerima zakat padahal sebenarnya dia bukanlah orang yang berhak
menerimanya, saya katakan kepadanya, ‘Sungguh jika kamu mengambil zakat
padahal kamu bukan termasuk golongan yang berhak menerimanya maka
hakikatnya kamu sedang memakan barang haram –kita berlindung kepada
Allah darinya- wajib atas setiap pribadi untuk takut dan bertakwa kepada
Allah, sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang menjaga kehormatan dirinya, maka
Allah akan menjaga kehormatannya, barangsiapa merasa cukup, maka Allah
akan mencukupkannya perwira” [2]
Tetapi apabila mengulurkan tangan kepadamu seseorang yang menurut
keyakinanmu dia berhak menerima zakat, maka berilah dia karena zakat itu
menempati tempatnya, dengannya kamu akan berlepas diri dari tanggung
jawabmu. Kemudian seandainya setelah itu ternyata dia bukanklah orang
yang berhak menerimanya maka tidak perlu mengulangi zakat. Dalil dari
pernyataan ini adalah kisah seorang lelaki yang mensedekahkan harta,
pada awalnya dia bersedekah kepada perempuan pezina (pelacur), orang
banyak memperbincangkan tindakannya yakni sedekah kepada pelacur, dia
berucap Alhamdulillah. Lalu dia bersedekah lagi pada malam yang kedua,
jatuhlah sedekahnya ke tangan seorang pencuri, orang banyak
memperbincangkannya lagi, ‘sedekah malam ini jatuh ke tangan pencuri’.
Selanjutnya dia bersedekah lagi pada malam yang ketiga kepada orang
kaya, lagi-lagi orang banyak mempercakapkannya, ‘sedekah malam ini jatuh
pada orang kaya’, dia berucap ‘Alhamdulillah, atas pelacur, pencuri dan
orang kaya’ dikatakan kepadanya.
“Sesungguhnya sedekahmu telah dikabulkan, si pelacur itu
barangkali dia telah menahan diri (tidak melacur lagi) disebabkan oleh
sedekahmu kepadanya, si pencuri itu barangkali telah merasa cukup lalu
menahan dirinya dari mencuri lagi, sedangkan si kaya itu barangkali dia
mendapat pelajaran berharga lalu dia bersedekah pula” [3]
Perhatikanlah, wahai saudaraku, terhadap niat yang benar bagaimana
besar pengaruhnya, sehingga jika engkau memberi orang yang meminta-minta
kepadamu lalu tampak jelas bahwa dia sebenarnya adalah seorang kaya
padahal engkau meyakininya sebagai orang miskin maka kamu tidak perlu
mengulang zakatmu.
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu
Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah,
Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]
_________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Muslim : Kitab Zakat/Bab Dibencinya Meminta-minta Kepada Manusia (1041)
[2]. [Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Zakat/Bab Tiada Sedekah
Kecuali Karena Ketidakkayaan (1427). Muslim : Kitab Zakat/Bab Keutamaan
Sikap Perwira dan Sabar (1053)
[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Zakat/Bab Apabila Seseorang
Bersedekah Kepada Orang Kaya Sedang Dia Tidak Mengetahuinya (1421).
Muslim : Kitab Zakat/Bab Tetapnya Pahala Orang Yang Bersedekah Meski
Sedekahnya Jatuh Pada Tangan Orang yang Tidak Berhak (1022).
APAKAH SEDEKAH DAN ZAKAT HANYA DIKHUSUSKAN PADA BULAN RAMADHAN SAJA ?
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah sedekah dan Zakat hanya dikhususkan pada bulan Ramadhan saja ?
Jawaban.
Sedekah tidak hanya dikhususkan pada bulan Ramadhan saja, namun dia
adalah amalan sunat dan disyariatkan di setiap waktu. Zakat diwajibkan
atas manusia untuk mengeluarkannya apabila haul hartanya telah sempurna,
tidak perlu menunggu Ramadhan, Ya Allah kecuali apabila Ramadhan telah
dekat, misalnya haul hartanya pada bulan Sya’ban lalu dia menunggu
sampai Ramadhan, maka ini tidak mengapa. Adapun jikalau haul hartanya
jatuh pada bulan Muharram misalnya, dia tidak boleh menundanya sampai
Ramadhan, tetapi boleh dia dahulukan pada bulan Ramadhan sebelum tibanya
bulan Muharram, tidak mengapa hal itu dilakukan. Penundaan dari waktu
wajibnya tidak boleh dilakukan, karena kewajiban yang terkait dengan
suatu sebab, harus dinaikan ketika muncul sebabnya itu dan tidak boleh
diakhirkan darinya.
Juga, seseorang tidak memiliki jaminan ketika mengakhirkan zakat dari
waktu semestinya, dia tidak memiliki penjamin yang tetap ada sampai
waktu yang dia akhirkan, kalau dia mati padahal ketika itu zakat masih
tersisa dalam tanggungannya, sementara ahli waris tidak mengeluarkan
harta untuk membayar zakat itu karena mereka tidak mengetahui bahwa ada
beban zakat atas si mayit. Begitu pula sebab-sebab selain itu yang
dikhawatirkan akan menimpa seseorang yang menganggap remeh pembayaran
zakatnya, maka dia bisa menjadi pendurhaka dalam pembayaran zakat.
Sedengakan sedekah tidak ada waktu yang ditetapkan untuknya, setiap
hari sepanjang tahun adalah waktunya. Akan tetapi manusia lebih memilih
menjadikan waktu bersedekah dan berzakat mereka pada bulan Ramadhan
karena itu adalah waktu yang utama, saat kedermawanan dan mulia. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan,
tetapi beliau menjadi lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan, tatkala
Jibril menjumpai beliau untuk bertadarus Al-Qur’an.
Akan tetapi kita harus mengerti bahwa keutamaan zakat atau sedekah di
bulan Ramadhan merupakan jenis keutamaan yang berkaitan dengan waktu,
apabila tiada keutamaan lain yang menjadi tambahan di sana maka di saat
itu lebih utama dari pada waktu yang lain. Adapun jika disana terdapat
keutamaan lain yang melebihi keutamaan waktu seperti orang-orang fakir
sangat membutuhkan sedekah/zakat di suatu saat –selain Ramadhan- maka
tidak sepantasnya dia mengakhirkan sedekahnya sampai bulan Ramadhan,
yang selayaknya dia lakukan adalah selalu memperhatikan waktu dan masa
yang lebih bermanfaat bagi orang-orang fakir, lalu dia mengeluarkan
sedekahnya pada saat itu, biasanya orang-orang fakir membutuhkan sedekah
di luar bulan Ramadhan daripada di dalam bulan Ramadhan ; karena di
bulan Ramadhan sedekah dan zakat banyak didapati oleh orang-orang fakir
sehingga mereka bisa mencukupi kebutuhannya dengan apa yang diberikan
kepada mereka. Akan tetapi mereka sangat membutuhkan hal itu di sisa
hari dalam satu tahun. Inilah masalah yang seyogyanya diperhatikan oleh
manusia, sehingga dia tidak lebih mendahulukan waktu utama di atas
segala keutamaan yang lain.
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu
Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah,
Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]
Belum ada Komentar untuk "Beberapa Hal Penting Tentang Masalah Zakat"
Posting Komentar